Sistem Pilkada di Indonesia Perlu Dievaluasi, Ketua DPD RI Usulkan Sistem Politik Efisien
Ketua DPD RI Sultan Baktiar Najamudin memberikan pelatihan sistem politik, Senin 28 Juli 2025-Sumber foto: koranradarkaur.id-
BENGKULU - Sistem Pilkada di Indonesia perlu dievaluasi secara menyeluruh. Ini demi menciptakan sistem politik yang lebih efisien, terkontrol, dan meminimalkan konflik sosial.
Ini disampaikan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Sultan Baktiar Najamudin saat kunjungan kerja ke daerah pemilihannya di Provinsi Bengkulu pada Senin pagi 28 Juli 2025.
"Pandangan saya secara pribadi yang tentu bisa saja tidak benar, berangkat dari keinginan untuk menghitung kembali secara objektif antara manfaat dan mudharat, antara dampak baik dan buruk dari Pilkada langsung," ujar Sultan.
Ia menilai, dalam prakteknya Pilkada selama beberapa tahun terakhir lebih menonjolkan sisi liberal dalam berpolitik, dengan biaya politik (high cost politics) yang sangat tinggi.
BACA JUGA:DPD MKGR Provinsi Bengkulu Dukung Penuh Adies Kadir Lanjutkan Kepemimpinan
BACA JUGA:DPD RI Soroti Skema Pendanaan Kopdes Merah Putih, Dinilai Berisiko Bebani Keuangan Desa
Kondisi ini menurutnya justru memicu niat calon kepala daerah untuk mencari cara mengembalikan modal politik setelah terpilih. Sehingga berpotensi membuka ruang bagi aktivitas korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
“Kita khawatir ketika seseorang sudah mengeluarkan ongkos tinggi untuk mencalonkan diri, fokusnya bukan lagi pada pelayanan publik. Tetapi pada bagaimana mengembalikan investasi politiknya,” lanjut Sultan.
Sultan juga mengungkapkan, adanya potensi konflik horizontal di masyarakat yang ditimbulkan dari proses Pilkada langsung. Seperti polarisasi sosial akibat perbedaan pilihan politik yang kerap kali bertahan bahkan hingga dua tahun pasca pemilihan.
BACA JUGA:Pelantikan Pengurus DPD KAI Bengkulu, Pemprov Bengkulu Sampaikan Program Bantu Rakyat
BACA JUGA:Persiapan Musda DPD I Partai Golkar Bengkulu Matang, Hari dan Tanggal Tunggu Petunjuk DPP
“Di daerah, habis Pilkada selalu ada dua kubu. Mereka sebagai kubu pemenang dan kubu yang kalah dan itu berlangsung lama. Ini tidak sehat bagi demokrasi dan kohesi sosial,” tegasnya.
Sebagai alternatif, Sultan menyarankan, perlu ada kajian terhadap kemungkinan pengubahan sistem pemilihan. Misalnya untuk posisi gubernur sebagai perwakilan pusat di daerah yang tidak dipilih langsung oleh rakyat. Tetapi melalui mekanisme penunjukan atau pemilihan oleh DPRD.
“Modelnya bisa macam-macam. Dalam buku saya, salah satu gagasannya adalah gubernur bisa saja ditunjuk sebagai perwakilan pusat di daerah. Sementara bupati atau wali kota tetap dipilih langsung oleh masyarakat,” jelasnya.