Pada tahun 1921, APA mendapat penghargaan pada ajang 5th International of Exhibition Rubber and Other Tropical Products di London dan pada 1924 kembali mendapat penghargaan pada ajang serupa di Brussels.
Ekspor kelapa sawit pertama terjadi pada tahun 1919 yang berasal dari perkebunan di Pesisir Timur Sumatra.
Namun, memasuki Perang Dunia Pertama, produksi kelapa sawit berjalan lambat dan baru setelah Depresi Besar tahun 1921, aktivitas penanaman kelapa sawit kembali bergairah.
Pada tahun 1924, luas area perkebunan kelapa sawit meningkat dari 414 hektare menjadi 18.801 hektare.
BACA JUGA:Kabupaten/Kota Paling Sempit dan Paling Luas di Bengkulu, Ada yang Cuma 152,481 Km Persegi
BACA JUGA:Perpustakaan Melati Pelatihan Kafani jenazah
Di Jawa juga muncul pabrik-pabrik minyak kelapa sawit berskala kecil yang memproduksi sabun dan mentega.
Pada tahun 1925, lahan kelapa sawit yang telah ditanami di Sumatra mencapai 31.600 hektare dan terus bertambah menjadi 75.000 hektare pada tahun 1936[1] dari hanya seluas 6.920 hektare tahun 1919.
Produksi kelapa sawit dari tahun 1919 ke tahun 1937 melonjak drastis dari 181 ton menjadi 190.627 ton minyak sawit mentah (crude palm oil, CPO) dan 39.630 ton minyak kernel.
Di Aceh Timur, produksi kelapa sawit berhasil melampaui produksi karet pada tahun 1935 dan pada tahun 1939 perkebunan di wilayah tersebut mampu menghasilkan kelapa sawit sebanyak 2.627 ton.
Pada umumnya, perusahaan perkebunan menanam tidak hanya satu komoditas saja tapi mencampurnya dalam satu area lahan perkebunan dengan tanaman karet dan kelapa sawit.
Kehadiran perkebunan besar turut mendorong munculnya perkebunan-perkebunan rakyat di sekitarnya.
Hingga tahun 1940 total area luas perkebunan kelapa sawit di Hindia Belanda telah mencapai 100.000 hektare yang dimiliki oleh 60 perusahaan.
Kapal-kapal tanker berisikan minyak kelapa sawit terus-menerus dikirim dari Aceh, Asahan, dan Lampung menuju Rotterdam, Belanda, untuk memenuhi kebutuhan pabrik sabun dan margarin di Eropa.
Perkembangan pesat perkebunan ini tidak terlepas dari sistem rekrutmen kuli-kuli yang didasari tiga peraturan, yakni pertama koeli Ordonantic (1880, 1884, dan 1893).
Dengan adanya peraturan koeli Ordonantic, manajer atau mandor-mandor perkebunan memiliki kewenangan hukum yang efektif atas kuli selama masa kontraknya masih berlaku.