Hadapi Regulasi EUDR, Inilah Kesepakatan Indonesia dan Malaysia
SAWIT: Kelapa sawit yang mulai berbuah --
RADAR KAUR- Regulasi Komoditas Bebas Deforestasi Uni Eropa (EUDR) memberikan masa tenggang hingga awal tahun 2025. Kebijakan tersebut tidak segera diterapkan pada pelaku usaha Usaha Mikro Kecil Menegah (UMKM) di Uni Eropa (UE).
Aturan itu akan efektif berlaku Juni 2025 atau setengah tahun lebih lambat dibandingkan dengan negara lain. Dengan demikian Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) mulai dari pemerintah Indonesia dan Malaysia melakukan misi bersama ke Brussels.
Dikutip dari infoswait.com dengan judul “CPOPC: Berikut 5 Hasil Upaya Bersama Indonesia dan Malaysia Hadapi Regulasi EUDR”. Aturan untuk pelaku UMKM di UE boleh menunggu hingga Juni 2025.
Hal itu tidak adil, karena hanya UMKM UE mendapatkan tambahan waktu 6 bulan. Sedangkan bagi petani kecil tidak diberikan waktu yang sama.
BACA JUGA:Berkarya untuk Indonesia, Mahasiswa Universitas BSI Raih IPK Sempurna
BACA JUGA:Kemuliaan Hati Cucu Rasulullah SAW, Perhatikan Sepenggal Kisahnya
Sekjen CPOPC Rizal Affandi Lukman, untuk mengatasi perbedaan waktu implementasi pihak CPOPC bersama UE. Pemerintah Indonesia dan Malaysia telah sepakat membentuk gugus tugas bersama atau joint task force.
Dalam pertemuan yang dilakukan menghasilkan lima poin penting.
pertama, inklusif petani sawit, yakni memastikan petani sawit tetap terlibat dalam rantai pasok minyak sawit ke UE.
Kedua sertifikasi minyak sawit berkelanjutan, pihak CPOPC mendorong UE mengakui sertifikasi nasional seperti Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO). Sebagai model untuk lulusnya prasyarat kebijakan EUDR untuk ekspor minyak sawit.
Kesepakatan selanjutnya membuat alat ketelusuran atau Traceability Tools.
BACA JUGA:Lakukan Cara 5 Sederhana Ini Supaya Pasangan Tetap Mesra
BACA JUGA:Hore...! Harga Cabai Sudah Turun
Sedangkan kesepakatan ke empat, penentuan country benchmarking, dimana menentukan apakah penilaian akan berdasarkan negara secara keseluruhan atau per provinsi dan apakah termasuk dalam kategori High Risk atau Low Risk.