Tradisi Malam Nujuh Likur di Bengkulu Selatan Terancam Punah, Alasan Ketua BMA Bikin Ngakak
NYALAHKAN API : Bupati BS Gusnan Mulyadi, SE, MM saat menyalahkan api Lunjuk pada malam Nujuh Likur, belum lama ini. ROHIDI/RKa--
BENGKULU SELATAN (BS) - Kabar menyedihkan, salah satu tradisi yang sangat terkenal di Provinsi Bengkulu, khususnya masyarakat Suku Serawai Kabupaten BS yakni, Malam Nujuh Likur terancam punah ditelan zaman.
Pasalnya, tradisi yang biasanya dilakukan masyarakat Serawai pada malam ke-27 puasa Ramadan tersebut. Sejak beberapa tahun terkahir mulai dilupakan.
Padahal, tradisi tersebut digelar sebagai bentuk ungkapan kebahagiaan dan wujud syukur atas datangnya bulan penuh rahmat ini yakni Ramadan ini.
Perlu diketahui pula, tradisi Nujuh Likur sebenarnya juga dilakukan masyarakat Melayu di berbagai daerah yang ada di Indonesia.
BACA JUGA:INFO PENTING! TPP dan Gaji 13 ASN Bengkulu Selatan Masih Terganjal, THR Masuk ke Rekening?
BACA JUGA:Ajarkan Murid Bersedekah, yang Dilakukan SDN 41 Kaur Patut Ditiru
Namun, khsusus Provinsi Bengkulu, tradisi Nujuh Likur ini hanya dilakukan oleh masyarakat Suku Serawai yang tersebar di Kabupaten BS, Seluma dan Kabupaten Kaur.
Berdasarkan penelusuran yang berhasil dirangkum Radar Kaur (RKa), tradisi malam ke-27 Ramadan alias Nujuh Likur ini juga dikenal sebagai tanda atau salam perpisahan dengan bulan Ramadan.
Biasanya kegiatan Malam Nujuh Likur akan diawali dengan masyarakat yang menyusun tempurung kelapa secara rapi dan vertical pada satu tiang yang ditancapkan ke tanah di depan rumah masing-masing.
Kemudian, pada saat malam ke-27 bulan Ramadan, batok kelapa yang telah disusun tersebut dibakar secara bersamaan. Masyarakat Serawai biasa menyebutnya Nyilap Lunjuk.
Nyilap berarti bakar sedangkan Lunjuk bermakna sayak atau tempurung kelapa.
Tanda dengan dibakarnya tempurung kelapa yang disusun tersebut membuat sekitar jalan depan rumah terutama jalan menuju masjid menjadi terang.