KORANRADARKAUR.ID – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dibuka melemah pada awal transaksi pasar spot hari ini, Selasa. Rupiah tercatat melemah 0,08% ke level Rp15.737/US$ dan semakin merosot ke Rp15.743/US$.
Penurunan ini mengikuti tren negatif yang diperkirakan sebelumnya, dengan potensi koreksi lebih lanjut menuju area Rp15.750, dengan support di Rp15.780/US$.
Secara teknikal, pergerakan rupiah menunjukkan adanya penembusan pada trendline channel yang sebelumnya berfungsi sebagai level resistance, kini menjadi titik tekanan terdekat di Rp15.700/US$.
Jika pelemahan terus berlanjut dengan volume tinggi, level support yang lebih krusial terletak pada trendline garis putih dan MA-200 di Rp15.810/US$, serta Rp15.840/US$.
Pelemahan rupiah hari ini menjadikannya sebagai mata uang dengan performa terburuk di Asia, mencatatkan penurunan 0,11%. Dalam perbandingan, yuan Tiongkok melemah 0,04%, sedangkan ringgit Malaysia juga turun dengan persentase yang sama.
Meskipun demikian, sejumlah mata uang Asia lainnya menunjukkan penguatan, seperti baht Thailand dan won Korea Selatan yang masing-masing menguat 0,32%.
Analisis menunjukkan bahwa melemahnya nilai rupiah telah diperkirakan seiring dengan pergerakan pasar forward yang mencatatkan tren penurunan.
Rupiah Non-Deliverable Forward (NDF) semakin tertekan di level Rp15.770/US$, sementara indeks dolar AS sedikit turun menjadi 104,26. Dalam lima hari perdagangan terakhir, rupiah menjadi valuta Asia yang paling merugi dengan penurunan mencapai 1,21%, mengalahkan ringgit yang turun 0,82% dan baht sebesar 0,77%.
Dikutip dari, bloombergtechnoz.com, sentimen pasar saat ini sangat dipengaruhi oleh ekspektasi rilis data ekonomi AS. Pelaku pasar menanti hasil survei ketenagakerjaan (JOLTS opening) serta Indeks Keyakinan Konsumen AS yang dijadwalkan rilis malam ini.
Ketegangan menjelang pemilihan presiden AS minggu depan juga meningkatkan volatilitas pasar. Survei Bloomberg Markets Live Pulse menunjukkan bahwa 38% responden percaya bahwa ekuitas akan meningkat setahun ke depan jika kandidat dari Partai Republik, seperti Donald Trump, menang. Sebaliknya, hanya 13% yang meyakini hal serupa jika kandidat dari Partai Demokrat unggul.
Namun, jika Trump memenangkan pemilihan, ini mungkin tidak menguntungkan aset emerging market, termasuk rupiah.
Kebijakan tarif barang impor yang mungkin diberlakukan dapat memperburuk inflasi dan mengganggu proyeksi suku bunga acuan The Fed. Kenaikan suku bunga AS akan semakin memperkuat dolar dan melemahkan mata uang lainnya.
Selain itu, peningkatan harga minyak dunia akibat ketegangan konflik di Timur Tengah, khususnya setelah serangan Israel ke Iran, berpotensi menambah tekanan pada rupiah.
Lonjakan harga minyak dapat berdampak negatif pada anggaran negara dan memicu inflasi lebih lanjut, yang semakin menurunkan daya tarik investasi di dalam negeri.
Di tengah situasi ini, Kementerian Keuangan akan melaksanakan lelang rutin Surat Utang Negara (SUN) dengan target indikatif Rp22 triliun.