Dia menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) di bawah presiden Soeharto, setelah jatuh kekuasaan presiden Soekarno. Dia berasal dari keluarga Batak Mandailing dan tinggal di desa Hutapungkut. Dia belajar mengajar dan masuk ke sekolah militer di Bandung.
Dia menjadi anggota Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL), tetapi bergabung dengan Pembela Tanah Air (PETA) setelah invasi Jepang. Setelah mendapatkan kemerdekaan, dia bergabung dengan angkatan bersenjata Indonesia dan bertempur selama Revolusi Nasional Indonesia.
Dia diangkat menjadi komandan Divisi Siliwangi sebuah pasukan gerilya yang beroperasi di Jawa Barat, pada tahun 1946; kemudian, setelah revolusi nasional berakhir, dia diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat.
3. Sultan Hamid II
Sultan Hamid II lahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie. Dia adalah putra sulung Sultan Pontianak ke-6 yaitu Sultan Syarif Muhammad Alkadrie (12 Juli 1913 – 30 Maret 1978). Dia juga adalah perancang Lambang Negara Indonesia, Garuda Pancasila. Dia berasal dari keluarga Arab-Indonesia. Dia menikah dengan seorang wanita Belanda dari Surabaya dan mereka memiliki dua anak yang sekarang tinggal di Belanda.
Syarif Abdul Hamid menerima pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta dan Bandung. HBS di Bandung selama satu tahun, THS Bandung tidak selesai atau tamat, kemudian KMA di Breda, Belanda, hingga selesai dan menjadi letnan di tentara Hindia Belanda.
Dia menjadi perwira militer di KNIL dengan pangkat Letnan Dua setelah lulus pada tahun 1937 dan bertugas di kota-kota seperti Malang, Bandung, Balikpapan dan beberapa tempat lainnya yang ada di Pulau Jawa.
4. Mangkunegara VII
Mangkunegara VII yang terlahir dengan nama Raden Mas Soerjosoeparto. Dia adalah anak laki-laki ketiga atau ketujuh dari 28 bersaudara dari Mangkunegara V.
BRAy. Partini, anak tertua Mangkunegara VII, menikah dengan P.A. Husein Djajadiningrat, seorang sejarawan dan ningrat dari Kesultanan Banten, yang pada saat itu dilikuidasi oleh pemerintah Hindia Belanda.
Dia berperan dalam organisasi pergerakan nasional Boedi Oetomo dan menjadi penasihat di organisasi pelajar Jong Java. Pada tahun 1933, dia mendirikan radio pribumi pertama di Indonesia, SRV (Solosche Radio Vereniging), yang menyiarkan program dalam bahasa Jawa.
Selain itu, pada masa hidupnya, dia adalah seorang perwira KNIL dengan pangkat Kolonel, dengan jabatan ini pula, dia merangkap sebagai komandan Legiun Mangkunegaran sebuah pasukan kecil yang terdiri dari prajurit Mangkunegaran.
Mangkunegara VII merupakan seorang penguasa yang dianggap berpandangan modern pada zamannya. Dia berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat Praja Mangkunegaran melalui usaha perkebunan (onderneming), terutama gula. Mangkunegara VII juga menyukai seni dan budaya Jawa, terutama mendukung perkembangan drama dan musik tradisional.
5. Raden Oerip Soemohardjo
Raden Oerip Soemohardjo yang lahir pada tanggal 22 Februari 1893, adalah seorang jenderal dan Kepala Staf Umum Tentara Nasional Indonesia pertama selama Revolusi Nasional Indonesia.
Oerip kecil yang dilahirkan di Purworejo, Hindia Belanda merupakan anak nakal yang sudah menunjukkan kemampuan memimpin sejak usia muda. Selepas sekolah dasar, dia dikirim ke Sekolah Pendidikan Pegawai Pribumi (OSVIA) di Magelang karena orangtuanya ingin dia mengikuti jejak kakeknya sebagai bupati.