Dijelaskan, sejauh ini, pemenang dalam kontestasi Pilkada biasanya memiliki logistik yang tidak terpusat. Melainkan terbagi di masing-masing wilayah.
"Jadi, mereka lebih efektif. Pertempuran itu kan terjadi di kampung-kampung, bukan melalui tahapan yang panjang terfokus pada satu orang, sehingga komunikasi dan koordinasi menjadi lemah bagi yang kalah,” jelasnya.
Faktor delapan adalah penggunaan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) atau Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam kampanye.
“Itu menyalahi jika menggunakan jaringan OPD. OPD atau ASN tidak fleksibel jika dilibatkan dalam pertempuran politik Pilkada,” sebutnya.
Terakhir, karena kinerja Cakada petahana yang dianggap kurang maksimal.
Menurut Heri, beberapa petahana menunjukkan performa yang kurang baik, sehingga masyarakat memberikan penilaian negatif.
Dicontohkan, seperti karena diduga mampu mengelola anggaran yang didapat dari negara.
Sehingga kemudian dana yang harusnya sangat dibutuhkan dalam pembangunan daerah itu harus dikembalikan lagi pada negera.
"Kesembilan faktor yang kami sebutkan ini adalah hasil survei dari yang diungkapkan warga Bengkulu pada kami. Tapi yang paling mutlak, bagi kami umat Islam. Seperti apapun trik dan cara mereka ereka yang terpilih jadi pemimpin. Ini sebenarnya telah tertulis di Lauhul Mahfuz atau takdir Allah SWT," pungkasnya.*