Tekan Impor BBM, B35 dan Bioetanol Solusinya, Berikut Penjelasannya

Ilustrasi--

RADAR KAUR - Untuk menekan ketergantungan impor Bahan Bakar Minyak (BBM) bagi Indonesia, dengan cara mempercepat pengembangan produksi Bioetanol dari tebu yang ternyata bisa digunakan sebagai campuran BBM jenis bensin. 

Selain itu juga  B35 campuran bahan bakar nabati dari minyak kelapa sawit, dengan kadar minyak sawitnya 35 persen, sementara 65 persen sisanya dari Bahan Bakar Minyak (BBM) solar. Ini merupakan program dari Kementerian ESDM untuk meningkatkan penyediaan energi bersih secara berkelanjutan.

Biodiesel adalah minyak dari tumbuhan atau hewan yang dipakai sebagai alternatif pengganti solar untuk armada dengan mesin diesel. Biodiesel berasal dari bahan baku minyak sawit mentah (Crude Palm Oil), minyak jarak, minyak nyamplung, minyak kelapa, minyak ikan hingga Palm Fatty Acid Distillate (PFAD).

Dikutip dari cnbcindonesia.com untuk mendorong program tersebut saat ini pemerintah sudah menelurkan aturan berupa Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol Sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel). 

Dengan ini, pemerintah berharap dapat meningkatkan luasan lahan tebu, produktivitas, dan kualitas tebu.

Untuk produktivitas kelapa sawit di Indoenesia saat ini tidak perlu diragukan, karen kelapa sawit salah satu penyumbang devisa negara terbesar dari sektor perkebunan. Setelah kelapa sawit sukses. dijelaskan Direktur Bioenergi EBTKE Kementerian ESDM, Edi Wibowo, aturan tersebut juga mencakup diversifikasi tanaman penghasil bioetanol, seperti padi, jagung, singkong, dan sorgum.

Produksi bioetanol saat ini di Indonesia baru mencapai 40 ribu kiloliter (KL) per tahun. Target pemerintah untuk tahun 2030 adalah mencapai produksi sebanyak 1,2 juta KL, yang diharapkan dapat mengurangi impor BBM sebesar 60 persen, khususnya pada jenis bensin yang mencapai 35,8 juta KL.

Salah satu aspek yang dapat ditingkatkan untuk memaksimalkan tebu yang dihasilkan yakni melalui produktivitas dari luas areal lahan. Data Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menunjukkan penurunan produktivitas pada 2023 menjadi 70,7 ton per hektare tebu. Bahkan, level saat ini jauh lebih rendah dibanding level tertingginya pada 2010 yang mencapai 81,8 per Ha.

Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen mengatakan, saat ini pemerintah telah menyiapkan 700 ribu hektare lahan untuk budidaya tebu hingga tahun 2028.

Meskipun, tantangan dalam merealisasikan target ini cukup kompleks, termasuk proses panjang mulai dari penyiapan benih hingga pembangunan pabrik gula dan pengolahan bioetanol. Tentu untuk diversifikasi bahan baku bioetanol dengan melibatkan tanaman lain seperti sorgum, singkong, dan jagung. 

Namun, pembangunan pabrik gula menjadi kendala, sebab minimal satu pabrik harus dibangun untuk setiap 20 ribu hektare lahan tebu. Dengan program yang aman untuk ketergantungan Impor BBM di Indonesia akan bisa diatasi dengan baik. (*/ujr)

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan