Dalam laporan tersebut, harta terbesar Pigai. Terdiri dari, surat berharga, dan kas masing-masing senilai Rp 2 miliar. Dia tidak memiliki harta berupa tanah, atau bangunan. Juga hanya melaporkan satu kendaraan saja, yaitu mobil CRV Jeep tahun 2011, seharga Rp 300 juta.
Dari laporan tersebut, terlihat bahwa harta kekayaan Pigai terbilang sederhana. Dengan permintaan anggaran yang jauh lebih besar dari total harta kekayaannya, masyarakat mulai mempertanyakan rasionalitas dan keterkaitan antara latar belakang finansial Pigai dengan permohonan anggaran tersebut.
BACA JUGA:Desa Wisata Tanjung Bonai Tanah Datar Miliki Daya Tarik Tersendiri, Simak di Sini
Banyak yang meragukan apakah anggaran sebesar itu benar-benar diperlukan dan akan digunakan secara efektif untuk program-program HAM.
Permintaan anggaran ini memicu beragam reaksi di kalangan publik dan pengamat. Beberapa menganggap bahwa permintaan Pigai terlalu ambisius dan tidak realistis, mengingat besarnya anggaran yang diperlukan.
Kritikus berargumen bahwa, meskipun pentingnya isu hak asasi manusia tidak dapat dipandang sebelah mata, harus ada kejelasan dan transparansi dalam penggunaan dana publik.
Sebaliknya, ada pula yang mendukung permintaan Pigai, menilai bahwa investasi besar diperlukan untuk membangun infrastruktur dan program yang dapat mendukung peningkatan kesadaran HAM di masyarakat.