Namun masyarakat yang menggarap lahan di dalam dan sekitar Tahura Geluguran tetap harus mematuhi aturan pengolahan lahan secara bijaksana dengan berpedoman pada aturan.
Untuk itu, DLHK BS menginisiasi pembentukan kelembagaan KTHK yang akan menjadi mitra pengelola Tahura Geluguran secara kolaboratif.
"Tapi itu tadi, masyarakat para penggarap tidak diperbolehkan membuka lahan baru dalam areal Tahura," tegasnya.
Kadis melanjutkan, penggarap hanya boleh mengoptimalkan pemanfaatan lahan yang telah dibuka sebelumnya dengan tanaman produktif.
Tanaman yang dimaksud merupakan tanaman yang bisa menghasilkan produk Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) seperti durian, jengkol, petai, nangka, cempedak, alpukat, dan rotan.
Masyarakat selaku penggarap tidak diperbolehkan menebang pohon dan menanam sawit di dalam areal Tahura Geluguran.
Untuk tanaman sawit yang sudah terlanjur ditanam akan diselesaikan sesuai skema pada Peraturan Menteri LHK Nomor : 14 Tahun 2023 tentang Penyelesaian Usaha dan/atau Kegiatan Terbangun pada KSA, KPA, dan Taman Buru.
Menurut Kadis, kelembagaan KTHK dan kemitraan konservasi perlu dibangun sebagi wujud kolaborasi dalam pengelolaan Hutan Konservasi.
KTHK bukan hanya menjadi wadah komunitas petani penggarap di areal Tahura saja, melainkan berperan sebagai media pembelajaran, peningkatan kapasitas SDM.
Bukan itu saja, juga untuk pemecahan masalah, kerjasama dan gotong royong, pengembangan usaha produktif dan pemasaran, serta peningkatan kepedulian terhadap kelestarian hutan.
Tanpa adanya peran serta aktif masyarakat dalam mengelola dan menjaga hutan secara sadar, maka visi mewujudkan hutan lestari dan masyarakat sejahtera mustahil akan tercapai.
"Sanksinya sangat berat. Terutama bagi perusakan hutan seperti pembalakan liar, perambahan dan perkebunan ilegal dan lainnya," pungkasnya. *