Saat Ramadan, Tradisi Nujuh Likur Layak Dilestarikan, Ini Makna yang Tersirat
TRADISI: Kaum anak-anak di Desa Ulak Lebar Kecamatan Muara Sahung membuat tunam dari tempurung kelapa untuk dibakar saat malam nujuh likur di bulan suci Ramadan tahun 2023 lalu. Foto DOK/RKa --
MUARA SAHUNG - Di momen bulan suci Ramadan tahun 1445 Hijriah atau 2024 Masehi.
Masyarakat Kecamatan Muara Sahung, khususnya warga Suku Semende Lembak diharap kembali melestarikan tradisi malam Nujuh Likur saat malam ke-27 Ramadan.
Camat Muara Sahung Ahmad Gusran, S.Sos mengatakan, saat ini, tradisi membakar tunam dan melemang saat malam ke-27 di bulan Ramadan itu.
Perlahan mulai ditinggalkan karena dianggap sudah kuno dan tak zamannya lagi.
BACA JUGA:HATI-HATI! Jalan Provinsi Mulai Menyemak, Rawan Kecelakaan
Ini cukup disayangkan, sebab ada banyak makna mendalam dari tradisi tersebut.
"Ada banyak makna mendalam yang terkandung dari kegiatan membakar Tunam dari batok saat malam Nujuh Likur. Jadi bukan hanya sebatas euporia menyambut datangnya hari lebaran," kata Ahmad Gusran, Selasa 19 Maret 2024.
Secera singkat, Camat Muara Sahung menjelaskan, membakar tunam mengingatkan bila bulan suci Ramadan akan segera berakhir.
Mengandung pesan agar umat Islam meningkatkan ibadah.
BACA JUGA:Menjadi Pemuda Religius, Simak Pesan Kadis Pora untuk Pemuda
Apalagi ungkap Ahmad Gusran, pada malam ganjil ini diyakini datangnya Lailatul Qadar.
Sebab itu tradisi membakar Tunam adalah simbol datangnya malam penuh keberkahan dalam ajaran Islam tersebut.
"Memang kalau dilihat secara fungsi sebagai penerangan malam hari. Tunam ini memang sudah gak zaman. Tapi lihat dari makna spiritual didalamnya. Mari kita lestarikan kearifan lokal ini," pungkasnya.