Walhasil, kata Didin, momen pengembangan industri pesawat terbang di Tanah Air menjadi terlewatkan.
Acara diskusi bedah buku itu awalnya dibuka oleh Wakil Koordinator Program Doktoral Ilmu Politik di Sekolah Pascasarjana Universitas Nasional, Eddy Guridno.
"Saya dan guru besar Unas lainnya telah menjadi saksi bagaimana Ibu," kata Eddy.
Adapun dalam buku yang bertajuk "Pengaruh Asing Dalam Kebijakan Nasional, Studi Kasus Pengembangan Industri Pesawat Terbang".
Irma menerangkan bahkwa Indonesia merupakan negara kepulauan yang membutuhkan sarana transportasi yang dapat mendukung sirkulasi nasional untuk kelancaran distribusi barang dan jasa maupun mobilitas orang.
Atau dengan kata lain, sirkulasi nasional yang terdiri atas transportasi, komunikasi, dan informasi memiliki posisi strategis terhadap kelancaran dan kelangsungan pembangunan Nasional.
Di sisi lain, pada kenyataannya industri pesawat terbang jalan di tempat pada periode usai Orde Baru.
"Pada Orde Baru, pembangunan industri pesawat terbang dijalankan oleh Soeharto, yang ia dikenal sebagai sosok yang kurang mempertimbangkan saran dari para teknokrat atau para pakar dibidangnya masing-masing," kata Irma yang juga merupakan dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Nasional, seperti dikutip dari bukunya.
Kendati demikian, Irma menambahkan, pada era Soeharto, industri pesawat terbang ikut ditangani oleh BJ Habibie dan dapat mencapai puncaknya pada produksi prototype pesawat N250 di Paris Airshow pada tahun 1995.
Namun, usai Orde Baru, Indonesia mengalami krisis moneter pada 1998. Akibatnya, industri pesawat terbang tidak lagi menjadi prioritas negara karena minimnya dukungan dari berbagai pihak mulai dari kelompok elit, pemerintah, maupun para teknokrat.
Benerkah industri pesawat terbang di Indonesia jalan di tempat menurut pembaca?
Semoga bermanfaat.*