BACA JUGA:Gaji Tenaga Honorer Jambi Naik di Tahun 2025, Bagimana Nasip PPPK?
tepatnya saat pemerintahan Hindia Belanda. Saat itu, pemerintah percaya bahwa peran gender masih menentukan pendidikan.
Dengan kata lain, pendidikan yang diberikan kepada gadis remaja bertujuan untuk mempersiapkan mereka untuk menjadi istri dan ibu rumah tangga di masa depan.
Dewi Sartika merasa prihatin melihat hal ini. Apalagi, dia telah menyaksikan kesulitan yang dialami sang ibunda saat sang ayah menjalani hukuman di pembuangan Ternate Dari pengalaman ini, Dewi Sartikel mulai bersemangat.
Dia berharap dapat memberdayakan perempuan. Dewi Sartika mempunyai slogan yang berbunyi "Ari jadi awewe kudu segala bisa, ambeh bisa hirup!", yang berarti, "Menjadi perempuan harus memiliki banyak kecakapan agar bisa hidup."
Tentunya, upaya Dewi Sartika tak semulus yang dibayangkan. Bupati Martanegar awalnya tidak setuju untuk mendirikan sekolah khusus anak perempuan.
BACA JUGA:Perjuangan Raden Ajeng Kartini, Inilah Jasa-jasanya Bagi Indonesia
Namun, Dewi Sartika tidak patah semangat karena penolakan ini dengan semangat dan ketekunan, dia akhirnya bisa mewujudkan niat baiknya.
Sekolah Istri pertama kali didirikan secara resmi di Paseban Kabupaten Bandung pada 16 Januari 1904. Dewi Sartika dengan membagi sekolah menjadi dua kelas.
Setiap kelas diisi oleh 20 siswa. Terdapat 3 orang pengajar yang terlibat yaitu Dewi Sartika, Ibu Purma dan Ibu Uwit.
Kondisi pendidikan saat itu hanya memprioritaskan keturunan tinggi. Hal tersebutlah yang membuat Dewi Sartika berkomitmen untuk memberi ilmu kepada siapa saja yang membutuhkannya, tidak hanya kepada priyayi.
Prinsip yang dibangun oleh Dewi Sartika masih dipandang sebelah mata. Bahkan kelompok perempuan priyayi juga menentangnya.