RADAR KAUR- Drama ekonomi sawit di Indonesia diawali ketika Uni Eropa (UE) kembali menuduh sawit Indonesia menjadi penyebab deforestasi, melalui perubahan tata guna lahan secara tidak langsung atau Indirect Land Use Change-ILUC.
Dengan begitu Indonesia mengajukan gugatan tindakan diskriminatif kepada Badan Penyelesaian Sengketa (DSB/ Dispute Settlement Body) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Keputusan akhir hasil gugat harusnya telah diumumkan Bulan Desember 2023 ini.
Pemerintah Indonesia telah merespons tuduhan UE tentang ILUC dengan melakukan koreksi kebijakan melalui Peraturan Presiden (Perpres) 9/2023 tentang Satuan Tugas Peningkatan Tatakelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara. Satgas bertugas menyelesaikan isu legalitas lahan sawit di dalam kawasan hutan.
Dunia usaha dan petani sawit sama-sama menghadapi ketidakpastian hukum tentang implementasi atau tindakan koersif untuk menyelesaikan kasus tumpang tindih dan keterlanjuran tata guna lahan sawit.
Dikutip dari artikel ekonomibisnis.com dengan judul Opini: Peluang ekonomi Berbasis Sawit 2024 . Yang mana ekonomi berbasis sawit pada tahun ini masih penuh drama, yang mana fenomena larangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya pada 2022. Larangan ekspor CPO berlaku tahun 2022, akibatnya harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit anjlok hingga di bawah Rp 1.000/kg.
Tetapi kekeringan ekstrem El-Nino 2023 diyakini tidak banyak berdampak pada kinerja produksi CPO. Produksi CPO 2023 48,6 juta ton, minyak biji sawit (PKO) 4,6 juta ton, sehingga total produksi kelapa sawit 53,2 juta ton atau naik 3,81 persen dari total produksi 51,2 juta ton pada 2022.
Dengan begitu prospek ekonomi berbasis sawit pada 2024 akan mengalami dinamika lingkungan bisnis dan politik, serta faktor perubahan ekonomi global. Produksi minyak sawit Indonesia banyak ditentukan oleh kinerja kebun dan industri sawit di Sumatra dan Kalimantan.
Produksi sawit di Sulawesi dan Papua masih terbatas karena baru belajar, yang mungkin berperan penting 10 tahun mendatang. Kekeringan ekstrem El-Nino berpengaruh pada presipitasi uap air di Sumatra dan Kalimantan, sehingga siklus produksi bergeser. Puncak produksi biasanya pada Agustus September, kini bergeser ke April Mei.
Sedangkan rata-rata produktivitas TBS 2023 turun hingga 15 ton per hektare (Ha). Produktivitas perkebunan besar 18 ton per Ha, sedangkan sawit rakyat hanya 11 ton per ha.
Dunia usaha dan pemerintah sama-sama memiliki kewajiban untuk meningkatkan produktivitas TBS, setidaknya mendekati potensi produktivitas 30 ton per Ha.
Jika hal itu berhasil, maka peningkatan produksi sawit tidak harus melakukan ekspansi kebun, apalagi jika menyebabkan kerusakan hutan.
Konsumsi minyak sawit domestik 2023 diperkirakan naik lebih 10 persen, terutama untuk biodiesel 10,6 juta ton, pangan 10,4 juta ton dan oleokimia 2,3 juta ton.(*/ujr)