Koperasi Direncanakan Menerima Modal Awal Rp 3 M, Beresiko Fiskal
Ilustrasi kantor Koperasi Merah Putih-Sumber foto: Koranradarkaur.id-
KORANRADARKAUR.ID - Pemerintah Indonesia kembali menghadirkan program ambisius bernama Koperasi Merah Putih yang menargetkan pemberdayaan hingga 80.000 koperasi di seluruh Tanah Air.
Setiap koperasi direncanakan menerima modal awal sebesar Rp 3 Miliar (M) pada tahun 2025, dengan total pembiayaan mencapai Rp 240 triliun.
Anggaran yang sangat besar ini tentu menimbulkan berbagai pertanyaan penting, terutama mengenai sumber pendanaannya dan risiko fiskal yang mungkin timbul.
BACA JUGA:Manfaat Koperasi Merah Putih Membangun Ekonomi untuk Masyarakat
BACA JUGA:Koperasi Merah Putih 2025 Serap Tenaga Kerja Jutaan Orang, Siap Tampung Kebutuhan Sembako
Menurut keterangan resmi pemerintah, pendanaan program ini tidak akan langsung membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dana akan disalurkan melalui bank-bank milik negara yang tergabung dalam Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), meliputi BRI, Mandiri, BNI, dan BTN.
Namun, pengalaman selama ini menunjukkan bahwa bank-bank BUMN ini tidak sepenuhnya independen dari kebijakan fiskal, sehingga skema pembiayaan melalui Himbara tetap berpotensi menimbulkan dampak fiskal tidak langsung.
BACA JUGA:Deretan Produk Unggulan Daihatsu Termasuk! Inilah Mobil Matic Hemat BBM di Bawah Rp 100 Juta!
BACA JUGA:Badan Hukum Koperasi Merah Putih Syarat Pengajuan Pencairan Dana Desa Tahap II
Himbara sebagai agen pembangunan sering menjalankan program pemerintah seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang bunganya disubsidi oleh negara, penyertaan modal negara (PMN) yang memperkuat permodalan bank-bank BUMN, serta jaminan risiko kredit melalui lembaga penjamin seperti Jamkrindo dan Askrindo.
Oleh karena itu, meskipun dana Koperasi Merah Putih tidak secara eksplisit berasal dari kas negara, potensi risiko kredit macet, permintaan subsidi bunga, dan penjaminan risiko dapat berimbas pada kondisi fiskal negara secara tidak langsung.
Di tengah tekanan fiskal yang cukup berat akibat program-program sosial seperti makan bergizi gratis (MBG), subsidi energi, dan beban bunga utang yang meningkat, muncul kekhawatiran apakah skema besar ini dapat dijalankan secara berkelanjutan tanpa menimbulkan pemborosan anggaran dan risiko korporatisme.
Kritikus menyoroti bahwa dana triliunan rupiah yang digelontorkan untuk modal koperasi tersebut perlu diawasi secara ketat agar tidak menjadi ajang pemborosan dan praktik korporatisme yang merugikan rakyat.